Wednesday, September 9, 2015

Sebuah pelajaran,karena pemborosan Malaysia di ambang kehancuran


MALAYSIA (Malasi, pen.) adalah satu dari sedikit negara yang mencapai kemerdekaan dengan begitu banyak keunggulan. Negara yang memiliki anugerah-anugerah penting: air yang cukup, strategis di jalur pelayaran internasional, persediaan kayu yang besar, cadangan timah, minyak, dan gas yang besar, prospek pengembangan minyak-minyakan tropis seperti

MALAYSIA (Malasi, pen.) adalah satu dari sedikit negara yang mencapai kemerdekaan dengan begitu banyak keunggulan. Negara yang memiliki anugerah-anugerah penting: air yang cukup, strategis di jalur pelayaran internasional, persediaan kayu yang besar, cadangan timah, minyak, dan gas yang besar, prospek pengembangan minyak-minyakan tropis seperti sawit, serta sistem hukum yang berlandaskan hukum TORT warisan Inggris.

Dalam banyak hal Malasi memang berhasil dan sesungguhnya bisa jauh lebih baik lagi. Tetapi, alih-alih berhasil, sudah terlalu sering Malaysia mencoba membeli ornamen-ornamen keberhasilan—bangunan tertinggi di dunia (KLCC), bandara internasional yang besar padahal tidak perlu, dan sebagainya. Menurut Michael Backman, dalam Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia, bahwa pada tahun 2025 komoditas yang membiayai hampir semua ornamen atau “suplemen” kepercayaan diri bangsa ini—yaitu minyak--akan habis.

Pada 2025 penduduk Malasi akan bertambah lebih dari 50% dari level sekarang yang mencapai 23 juta menjadi lebih dari 35 juta. Dengan keadaanya saat ini, Malasi akan menjadi net importir minyak pada 2010 jika kecenderungan konsumsi membabi-butanya terus berlanjut, sebagaimana Taklimat Hassan Merican, presiden & CEO Petronas, 2007. Itu artinya, bahwa kondisi Malasi sebentar lagi (2010)--sekarang 2010, akan mirip Indonesia saat ini pada posisi net importir minyak. Bedanya, indonesia masih memiliki cadangan minyak yang besar dan menyebar—hingga ke Ambalat-- sementara cadangan minyak Malaysia habis terkuras dan dikuasai Petronas (Melayu) untuk membiayai proyek-proyek menara-gading dan simbol-simbol “kebodohan” semacam Menara petronas, hingga berkepentingan untuk bisa mengklaim Blok Ambalat (dan ini konyol) menjadi penting, bahkan seluruh armada perangnya bisa saja disiapkan khusus untuk kepentingan ini: coba-coba mendekat Ambalat.

Bagi investor asing, ada sesuatu yag tidak beres dengan Malasi. Bagi mereka negeri Malasi tidak semenarik dulu. Saat ekonomi global menikmati masa-masa pertumbuhan yang panjang pada 2004-2005, justru investasi asing di Malasi turun 14%. Ini artinya, semacam peringatan dini akan datangnya bencana tsunami di negeri semenanjung ini. Alih-alih merubah kebijakan ekonominya, malahan pada 2006 Malasi kembali meributkan proporsi perekonomian dalam negeri yang dimiliki oleh kedua ras utamanya, Melayu (60% penduduk) dan Minoritas etnis Cina (24% penduduk). Perdebatan ini sendiri sudah berlangsung 40 tahun lamanya, perdebatan yang mengakar pada pemaksaan kehendak “negara” bahwa ada hubungan yang erat antara kekayaan dengan ras demi kesatuan nasional (sebuah logika persatuan dan kesatuan yang aneh).

Malasi rupanya lupa, bahwa dunia di luar sana adalah dunia yang keras, yaitu dunia yang tidak memberi simpati apalagi ampun kepada sebuah negara yang lebih suka mempersoalkan bagaimana membagi kekayaan dari pada bekerja untuk menciptakan kekayaan itu.

Obsesi nasional Malasi adalah menggali sumberdaya alam negara seefektif mungkin dan memboroskan hasilnya untuk proyek-proyek menara-gading, yang bertujuan untuk membantu mengobati penyakit yang digambarkan sebagai INFERIORITAS BANGSA.

PETRONAS, Perusahaan Minyak Negara memang dikelola dengan sangat baik bila dibandingkan dengan “musibah” perusahaan minyak negara yang dimiliki Indonesia, PERTAMINA. Dan disinilah masalahnya, keberhasilan Petronas membuat perusahaan ini dimanfaatkan untuk membenarkan segala macam kemewahan (konon mengambil bentuk keberhasilan PERTAMINA di masa lalu).

Pembangunan KLCC dengan obsesi menjadi menara tertinggi di dunia pada saat dibangun dan memang hal “tertinggi” yang ingin ditonjolkan ke seluruh dunia. Masalahnya kemudian, di Kuala lumpur bukannya kekurangan ruang kantor, bahkan sesungguhnya, meskipun ruang-ruang kantor di menara itu ditawarkan gratis kepada para pebisnis, maka mereka merasa tidak membutuhkannya. Tetapi anehnya, negara dalam hal ini memperoleh keuntungan dari dukungan rakyat Malasi yang merasa bangga terhadap menara kembar yang nyaris tidak ada hubungannya sama sekali dengan peningkatan kesejahteraan mereka.

HAMPIR MUSTAHIL MENEMUKAN SATU NEGARA DI MUKA BUMI INI YANG MENYAMAI KEPINTARAN MALAYSIA DALAM HAL MEMBUANG-BUANG UANG

Malaysia sungguh tidak memiliki SDM yang memiliki kemampuan rekayasa konstruksi yang memadai sehingga kontrak pembangunan menara ini jatuh pada perusahaan Korea Selatan (Sekelas cabang perusahaan konstruksi Indonesia semisal PP Cabang atau Adhi Karya Cabang).

Pusat perbelanjaan yang ada dibawah menara ini tidak dikelola oleh pengusaha lokal Melayu atau Cina sekalipun, melainkan dijalankan oleh perusahaan asal Australia, Westfield. Ketika menara ini selesai dibangun, bisnis-bisnis di seluruh kota dipaksa oleh negara untuk pindah ke menara—atas nama “bhakti kepada negara”—agar segenap rakyat Malasi tidak terlihat konyol dan bodoh ke seantero internasional, karena membangun menara tertinggi di dunia tapi kosong melompong. Jenis pelecehan semacam inilah yang tidak disukai oleh perusahaan-perusahaan asing.

Ada banyak contoh pemborosan dan kekonyolan-kekonyolan pemerintah Malasi yang memalukan lainnya. Dan yang paling memalukan adalah pada 2006 menghabiskan Rp. 1.225 milyar (Rp. 1,2 Triliun lebih) untuk membangun sebuah kompleks olah raga di dekat lokasi London Olympic (komplek olah raga musim dingin) di Inggris dengan tujuan agar atlet-atlet Malasi dapat berlatih di sana dan ”membiasakan diri dengan udara dingin.” Padahal, Malasi adalah peserta Olimpiade Musim Panas yang pastinya diselenggarakan pada musim panas.

Jadi, untuk apa sebenarnya kompleks olah raga semacam itu dibangun di Inggris? Tidak jelas, apakah ini termasuk sebagai kategori bodoh atau kekonyolan. Tapi, hemat saya masuk kategori kedua-duanya. Tapi, konon, para pejabat negara secara bergiliran dan rutin meninjau kompleks ini hanya sebagai alasan untuk jalan-jalan dan berbelanja, meskipun di KL sudah ada toko Harrods kecil, tapi, di london barangnya lebih bagus, mereka ke sana. Dan semua pemborosan itu dibiayai hampir seluruhnya oleh Petronas.

Bantuan penyelamatan Bank, pembangunan Lintasan Balap Formula Satu, Pembangunan Ibu Kota Pemerintahan baru, semuanya dibayar oleh Petronas. Ini semua semacam pesta omong kosong yang hampir tidak mungkin ditanggung Malasi. Bahkan, anggaran tahunan pemerintah Malasi juga tergantung dari Petronas.

Untuk tahun anggaran per 31 Maret 2007, Pertonas membayar RM48Milyar (US$14Milyar) kepada pemerintah atau 35% dari anggaran pemerintah tahun itu. Belum lagi Petronas harus mensubsidi harga gas ke produsen listrik negara dan beberapa pemakai lain dari sektor industri.

ADA SEBUAH FAKTA YANG TIDAK DAPAT DISANGKAL BAHWA BANGUNAN EKONOMI MALAYSIA BERDIRI DI ATAS FONDASI SATU PERUSAHAAN--PETRONAS

Salah satu resiko terbesar bagi kemakmuran Malasi adalah gelombang migrasi. Jutaan pekerja tamu berketrampilan rendah mengalir dari indonesia (TKW) dan Myanmar, yang justru akan membentuk ceruk pasar tersendiri, yang akan menguntungkan Produsen-produsen Indonesia semacam Martha Tilaar dengan produk kosmetiknya, sebaliknya ratusan ribu warga terpandai Malaysia justru pergi (terutama dari kalangan etnis Cina) yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah yang rasialis dan toleran terhadap kinerja buruk dan korup kalangan Melayu dan budaya bermewah-mewah yang ditampilkan oleh penguasa. Meskipun ada juga yang bertahan sambil menunggu perubahan kebijakan pemerintah yang memberi kelonggaran terhadap etnis Cina, tapi Etnis Melayu tidak rela, maka maka mereka yang menunggu hari pembalasan itu--ketika kebijakan preferensi ras di cabut, maka, hari itu tidak akan pernah datang.

TRANSPARANSI? TIDAK, TERIMA KASIH, KAMI ORANG MALAYSIA!

Apa yang terjadi apabila misalnya, Dokumen perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Jasa Marga soal kenaikan tarif tol dianggap sebagai Dokumen Rahasia Negara yang dilindungi Undang-undang? Atau perjanjian dengan PLN, Perusahaan Air, Telekomunikasi dan seterusnya sebagai rahasia negara? Jumlah stok beras yang ada di gudang BULOG sebagai rahasia negara?

OH, TIDAK! TERIMA KASIH, KAMI ORANG INDONESIA, PUNYA BUDAYA MALU!

Tapi di Malaysia, hal ini justru dilindungi Undang-Undang. Official Secrets Act yang dirancang pada 1972 dimaksudkan untuk melindungi rahasia negara dalam urusan pertahanan dan keamanan, tetapi dimanfaatkan oleh pemerintah Malaysia agar segala hal yang mungkin dapat memalukan negara tidak boleh diungkapkan. Siapapun yang membuka dokumen perjanjian pemerintah dengan swasta dapat dikategorikan sebagai membocorkan rahasia negara. Subfersif!

Pada awal 2007, Malasi memutuskan untuk membangun sebuah kota boneka untuk menyaingi Singapura dan Hongkong. Tapi sekali lagi, mereka gagal memahami bahwa membangun sebuah kota yang hebat bukan sekedar menyatukan balok-balok beton dan membentangkan baja-baja, alih-alih membangun kota untuk bersaing, justru para elit pemerintah menitipkan para keponakan, sepupu, sanak sodara (semua Melayu) semacam hadiah bagi persetujuan mereka atas rencana pembangunan kota baru. Dan semua perjanjian kerja dengan para investor serta perusahaan pekerja akan dibukukan sebagai dokumen rahasia negara. Bentuk Baru paling canggih dari sistem korupsi. Korupsi dilindungi Undang-undang. Praktek ini membuat investor asing menjauh dari malaysia.

INGAT PELATIH KARATE ASAL INDONESIA YANG DIANIAYA POLISI MALAYSIA? KESALAHAN PELATIH ITU SEPELE, IA TIDAK BAWA UANG RINGGIT UNTUK MENYUAP POLISI

KESIMPULAN

Minyak malaysia hampir habis, maka semakin sedikit sumber kekuatannya | Biarkan merasa menang, karena orang boros tidak mengerti arti kemenangan | Dokumen negara paling rahasia malaysia yang tidak boleh dibuka ternyata sebuah dukumen yang didalamnya mengandung satu kata sandi demikian: ”k1t4 34n654 30d0h!”

SUMBER

No comments:

Post a Comment