Tuesday, September 8, 2015

300 tahun yang terlupa, Pagaruyung Minangkabau dan Muara Takus Kampar

“Inilah tanah awal, tempat segala usoli dijalankan. Inilah tanah ninik ughang awak yang menjadi pusat segala bangsa-bangsa di Swarnadwipa (Sumatera). Inilah tanah Soko, Pisoko, jo Limbago, tempat pijakan awal puak-puak dan suku bangsa besar memulai segalanya untuk mencapai kejayaan, tak Melayu, tak Minangkabau, tak Mandahiling, dan lainnya,” ung
“Inilah tanah awal, tempat segala usoli dijalankan. Inilah tanah ninik ughang awak yang menjadi pusat segala bangsa-bangsa di Swarnadwipa (Sumatera). Inilah tanah Soko, Pisoko, jo Limbago, tempat pijakan awal puak-puak dan suku bangsa besar memulai segalanya untuk mencapai kejayaan, tak Melayu, tak Minangkabau, tak Mandahiling, dan lainnya,” ungkap Malin Ninik Datuk Rajo Dubalai Kedatuan Mutakui Suhaimi Zen kepada Tuan Basa Daulat Pagaruyung dan rombongan saat bersilaturrahmi ke Muaratakus, Senin (25/5) silam.

Laporan FEDLI AZIS, XIII Koto Kampar

PARA datuk-datuk delapan pucuk adat Mutakui berkumpul di Balai Adat Koto Mutakui yang terpacak di lapangan antara pasar tradisional dan kantor desa. Balai tersebut dihiasi dengan kain-kain lebar berwarna-warni. Tikar-tikar dibentangkan di lantai dan segala hidangan telah pula disajikan untuk jamuan makan beradat atau bajambau. Para seniman menyanyikan lagu-lagu tradisi dengan kolaborasi alat musik tradisi dan modern. Meski cuaca cukup panas, para datuk-datuk dan warga Koto Mutakui tetap menantikan kehadiran rombongan dari Kerajaan Pagaruyung dengan senang hati.

Pertemuan yang awalnya diagendakan pukul 10.00 WIB sempat tertunda dan usai salat Zuhur bersama di Masjid Taqwa Muaratakus, Tuan Basa Daulat Pagaruyung Muchdan Taher Bakrie dan permaisurinya beserta rombongan pun disambut hangat di halaman balai, ditandai dengan seni silat bungo dan tari piring. Setelah itu, pihak tuan rumah mempersilahkan rombongan untuk langsung masuk ke balai. Suasana kegembiraan terlihat jelas dari paras dan polahtingkah mereka karena pertemuan tersebut tidak pernah terjadi lagi sejak 300 tahun terakhir. Padahal peristiwa “jauo jolang manjolang, dokek jonguok manjonguk” dulunya menjadi hal yang biasa dalam peristiwa adat di Kedatuan Mutakui.

Di bagian depan ruang balai pertemuan duduk Ninik Datuk Rajo Dubalai Nasrul, Tuan Basa Daulat Pagaruyung, Ninik Siri, Ninik Majoindo, Ninik Bandaro duduk bersama di bagian depan menghadap para sanak saudara lainnya. Di bagian kanan, duduk pemangku adat tiga luak yakni luak tanah datar, luak agam, dan luak lima puluh beserta pewaris raja-raja dari Kerajaan Pulau Punjung (Darmasraya), Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Indrapura, serta pembesar-pembesar lainnya. Sedangkan bagian kiri balai, tempat duduknya datuk-datuk pucuk adat Koto Mutakui, serta Datuk Sati Gunung Malelo, dan Datuk Bandaro Tanjung Mutakui.

Datuk Majolelo Mutakui Fauzi yang mewakili tuan rumah menyebutkan, pertemuan yang langka ini tentu saja sangat menggembirakan bagi kedua belah pihak. Beliau menyatakan hal itu dalam petatah-petitihnya yakni sajauo mano pun kito baghantau, ka lawuik mano pun kito balayegh, katiko kasio manjawek sayang maimbau, cinto mangguga parasaan, ghindu malingkegh jalan pikie, bumi nan mancinto mamanggie, tanpa alasan kito totap babaliok. Kok gunuong la ghimbo, kok ghona la ponuo kasuburan, nan kini nan nampak di mato, lawuik indak batopi, ka langik lai ado nan bapadoman, nan banyak tingge bilangan, nan subur tingge caghito, nan di sangko pusek dunio totaplah kito caghi.

Petatah-petitih yang tak tercatat dalam tambo, buku-buku sejarah ini, masih segar dalam ingatan kolektif para datuk-datuk di Kedatuan Mutakui. Suatu pernyataan awal tentang ideologi Kedatuan Mutakaui (Sriwijaya) yang menggugah. Bahkan Datuk Fauzi menambahkan, “Petatah-petitih ini jelas menunjukkan asal usul kita sebagai anak kemenakan dan cucu-cicit datuk-datuk dan puti-puti di Onah Koto Sijangkang yang berpusat di Mutakui (Muaratakus),” ulasnya.

Sementara itu, Muchdan Taher Bakrie bergelar Sultan Alam Bagagarsyah Yang Dipertuan Daulat Raja Basa Pagaruyung menyatakan, pertemuan zuriat Tuan Basa Daulat Pagaruyung ke Mutakui terakhir kalinya berkisar 300 tahun yang lalu. Bertemu dengan pewaris Ninik Datuk Rajo Dubalai ke-19 diakuinya teramat mengesankan. “Saya benar-benar gembira dan bangga hadir ke Koto Mutakui ini. Tidak terbayangkan, setelah 300 tahun berlalu, barulah dimasa saya menjabat sebagai Tuan Basa Daulat Pagaruyung pertemuan ini, bisa terulang kembali. Saya belajar banyak dalam pertemuan singkat ini,” ucapnya setelah mendapatkan penjelasan tentang Ideologi Kedatuan Mutakui yang masih tetap bertahan hingga sekarang.

Sedangkan Nasrul yang memegang gelar Soko Ninik Datuk Rajo Dubalai menggantikan Datuk Ramli sejak 2014 silam menyambut rombongan sanak saudaranya itu dengan sukacita. “Pertemuan ini akan menjadi sejarah dikemudian hari, meskipun dulunya, moyang kami biasa saling kunjung-mengunjungi. Kami menyambutnya dengan senang hati dan berharap pertemuan seperti ini terus dilakukan,” katanya disela-sela acara.

Setelah pertemuan secara adat di balai yang diakhiri dengan makan bersama atau makan bajambau, tuan rumah pun mengajak Tuan Basa Daulat Pagaruyung beserta rombongan mengunjungi Candi Muaratakus untuk melihat langsung bekas kejayaan Kedatuan Mutakui di masa lampau.

Ingatan Kolektif Ahli Waris
Malin Ninik Datuk Rajo Dubalai Suhaimi Zen menjelaskan secara panjang lebar tentang Ideologi Kedatuan Mutakui yang tidak dipahami secara mendalam oleh para pewaris paham kedatuan, terutama yang ada dirantau. Banyak diantara mereka yang beranggapan, kisah dan cerita tentang Muara takus hanya sebagai mitos atau dongeng belaka. Barangkali hal itu menjadi wajar karena perkembangan pemikiran melalui tambo-tambo, kitab-kitab, buku-buku lahir sepanjang 300 tahun terakhir ini. Buku-buku itu, mengaburkan dan menjauhkan puak dan bangsa yang satu dengan lainnya terhadap moyangnya di Mutakui. Inilah yang membuat hubungan bersanak family semakin renggang, bahkan jauh.

“Perlu dicatat bahwa dalam Ideologi Kedatuan Mutakui yang tersebar luas ke seluruh rantau-rantau yang beraja-raja sejak awal sudah memperkenalkan sistem adat tentang Soko, Pisoko, dan Limbago,” katanya.

Suhaimi Zen yang akrab disapa Ongku Imi memaparkan, jika diibaratkan dengan batang tubuh manusia maka Soko adalah nafas. Pisoko, tubuh beserta isinya dan Limbago, pakaian yang dikenakan. Soko menjadi titik inti sebagai pemilik undang-undang tertinggi dari seluruh sistem kedatuan dengan istilah talago undang. Pisoko adalah kawasan Andiko 44 yang dipimpin oleh pucuk-pucuk adat kedatuan, dan Limbago adalah rantau kedatuan yang kemudian disebut rantau beraja-raja. Alam Limbago berkembang luas ke banyak kawasan yang akhirnya melahirkan sistem kerajaan dan berkembang menjadi kerajaan-kerajaan besar. Dalam petuah orang yang tua-tua jelas disebutkan; sayang ka soko ka duduoki, sayang ka pisoko diaghisi, soko tughun tomughun, pisoko jawek bajawek, limbago sapanjang balai, untuok diambiok boke diuni. Ghantau baghajo, ghajo bapenghulu, penghulu baandiko.

Kawasan 50 berawal dari empat dataran tinggi yakni Mahat, Mungka, Koto Lowe, dan Mutakui yang semuanya, berninik ke Mutakui. Mengapa Mutakui? Karena Soko Puti Ombun yang dilanjutkan Puti Bungsu sebagai Siompu dalam sistem kedatuan adalah ibu dari Ninik Datuk Rajo Dubalai yang berpusat di Mutakui. Siompu adalah pemegang amanah sistem kekerabatan dalam keluarga besar kedatuan. Karena Siompu adalah suri tauladan di keluarga besar Soko Kedatuan. Siompu adalah limpope di ghuma nan godang. Siapakah yang menjalankan amanah Siompu tersebut, tentu saja anak dan atau saudara laki-laki Siompu atau botuong tumbuo di mato. Inilah yang menjadi dasar, mengapa Ninik di Mahat, di Mungka, dan di Koto Lowe, berninik ke Mutakui. “Nan mano Mutakui tu? Sipisak sipisau anyuik, sialang balantak bosi, duyan ditakuok ghajo, buayo putio daguok,” kata Ongku Imi.

Kehadiran Tuan Basa Daulat Pagaruyung ke Mutakui mengisyaratkan, seperti cucu yang sedang menjenguk datuknya. Karena secara garis keturunan Tuan Basa Daulat Pagaruyung berhubungkait dengan Datuk Majo Bosau yang juga berhubungkait dengan Ninik Datuk Rajo Dubalai di Mutakui. Karena itu, ahli waris menunggu kepulangan raja-raja di rantau yang lainnya.

Usai memberikan penjelasan panjang lebar kepada Tuan Basa Daulat Pagaruyung dan rombongan di kawasan Candi Muara takus, Ongku Imi meminta kepada semua pihak yang peduli pada sejarah untuk bersama-sama memikirkan, dan berkontribusi besar mewujudkan harapan ahli waris serta Yayasan Matankari untuk pembangunan museum di kawasan candi. Pembangunan museum tersebut penting adanya agar barang-barang peninggalan moyang terdahulu mendapat tempat yang selayaknya.

“Di sini sudah sepatutnya dibangun museum sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab membawa atau mencuri barang-barang peninggalan seperti arca-arca dan lainnya,” harap Ongku Imi.

Ketua Yayasan Matankari Amirullah SPd mengatakan, yayasan yang menjadi perpanjangan tangan Ninik Datuk Rajo Dubalai ini bertugas untuk menggali, menelaah, dan mengkaji, silsilah dari Kedatuan Mutakui. Sejak berdiri pada 2012 silam, tim yayasan telah menginventarisir, hubungan di wilayah pisoko dan limbago, baik dari bangsa Melayu, Minang, dan Mandahiling, yang berhubungkait dengan kedatuan. “Tugas inti kami adalah menjalin hubungan yang berjarak, bahkan terputus antara bangsa-bangsa ini kepada Kedatuan Mutakui sebagai alam Soko dari bangsa-bangsa tersebut. Ahli waris Muara takus akan menyambut hangat kepulangan keluarga besarnya di rumah besar Mutakui,” ujar Amirullah.

SUMBER

No comments:

Post a Comment